
SPIONNEWS.ID, MALUKU – Penting untuk dipahami bahwa demonstrasi yang berujung anarkis biasanya bukan murni dari kehendak masa aksi itu sendiri, melainkan karena adanya gerakan tambahan dari pihak-pihak tertentu yang mencoba memanfaatkan situasi. Kelompok ketiga ini yang sering memprovokasi dan menciptakan kekacauan yang merusak tujuan utama aksi.
Dalam beberapa kasus, mahasiswa yang mengawal isu-isu penting seperti dugaan pungutan liar, transparansi anggaran, hingga salah satunya kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus, lebih tepatnya di Fakultas kedokteran beberapa hari kemarin justru mendapat tekanan balik. Bentuk tekanan itu hadir dalam wujud pemanggilan resmi oleh pihak kampus hanya karena aksi demonstrasi. Ironisnya, surat pemanggilan itu sering kali muncul secepat kilat, seolah-olah ekspresi mahasiswa adalah pelanggaran berat yang harus segera ditindak.
berbagai persoalan serius yang terjadi di UNPATTI justru tidak mendapat atensi dan penanganan yang seimbang. Dugaan praktik pungutan liar yang membebani mahasiswa tidak ditangani secara terbuka. Mahasiswa kerap kali harus membayar biaya tambahan di luar ketentuan resmi, namun tak ada kejelasan mekanisme pertanggungjawaban. Kondisi ini menimbulkan keresahan yang besar di kalangan civitas akademika.
Lebih miris lagi, isu pelecehan seksual di lingkungan kampus yang seharusnya ditangani dengan serius dan berpihak pada korban justru seolah dibiarkan tanpa penyelesaian yang transparan. Tidak adanya mekanisme perlindungan yang memadai membuat korban kerap memilih diam. Alih-alih membangun ruang aman bagi seluruh mahasiswa, kampus malah memperlihatkan sikap defensif terhadap kritik dan pengawalan kasus oleh mahasiswa.
Sebagai institusi pendidikan tinggi, UNPATTI seharusnya menjadi teladan dalam menjunjung tinggi nilai demokrasi, keadilan, dan keterbukaan. Namun respons yang represif terhadap ekspresi mahasiswa justru mencederai nilai-nilai akademik dan semangat kampus sebagai ruang dialektika. Kampus bukan hanya tempat mengajar dan belajar, tetapi juga tempat membentuk karakter kritis dan berani bersuara.
Pihak rektorat seharusnya melihat gerakan mahasiswa bukan sebagai bentuk permusuhan, melainkan sebagai panggilan moral untuk memperbaiki diri. Mengabaikan aspirasi mahasiswa dan membungkam suara-suara kritis hanya akan menambah jarak antara birokrasi kampus dan warganya (Mahasiswa), Ketika kampus menutup mata terhadap masalah internal, maka kredibilitas dan integritas lembaga akan terus dipertanyakan.
Sudah saatnya UNPATTI mengubah paradigma dalam menyikapi pergerakan mahasiswa. Alih-alih bersikap reaktif dan represif, kampus perlu membuka ruang dialog yang sehat dan menjadikan kritik sebagai bahan refleksi. Mahasiswa bukan musuh, melainkan mitra perubahan yang tulus menginginkan UNPATTI menjadi kampus yang lebih adil, transparan, dan manusiawi.
Penulis : Amidan Rumbouw
Editor : Erwin Banea