Kurikulum Indonesia, Dapatkah Dibuat Oleh Program AI

Penulis : Zahratus Syifa

SPIONNEWS,.ID, Tanggeran, Kamis, 16 Januari 2025 – Zahratus Syifa salah satu Kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT) saat tengah melakukan studi penelitian terkait program-program komisariat IMM FKIP kedepan. Zahra mengajukan beberapa pertanyaan kepada salah satu dosen AIK UMT Ruslan Efendi, M.PD. Zahra yang begitu antusias mengajukan beberapa pertanyaan kepada dosen tersebut.

Zahra menanyakan, Bagaimana pandangan Bapak mengenai rencana perubahan kurikulum yang disampaikan oleh Menteri Pendidikan terbaru, khususnya terkait wacana penghapusan Kurikulum Merdeka? Menurut Bapak, apa saja kelebihan dan kekurangan dari kurikulum yang saat ini diterapkan?

Menurut Bapak, sejauh mana kurikulum yang ada saat ini mampu menjawab kebutuhan pendidikan di era modern?

Menurut salah satu Dosen AIK Universitas Muhammadiyah Tangerang Ruslan Efendi, M.PD saat di wawancarai Pada 11 Desember 2024 lalu mengatakan, Permasalahan dalam dunia pendidikan di Indonesia tidak hanya terbatas pada isu terkait Kurikulum Merdeka, seperti kesesuaiannya, kekurangan dan kelebihannya, atau perlu tidaknya perubahan. Ada juga masalah lain yang tak kalah penting, seperti sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB), terutama terkait kebijakan zonasi. Banyak kritik yang muncul terhadap kebijakan ini, termasuk adanya pelanggaran atau manipulasi dalam penerapannya. Sistem ini sering kali menimbulkan ketidakpuasan di kalangan masyarakat karena dinilai belum sepenuhnya adil dan merata.

Selain itu, isu sumber daya manusia (SDM) dalam pendidikan juga menjadi perhatian, khususnya terkait kompetensi guru. Masih terdapat guru-guru dengan kompetensi yang belum memadai, baik dalam hal pengetahuan maupun keterampilan, yang berdampak pada kualitas pendidikan. Pemerataan SDM juga menjadi masalah. Terdapat wilayah-wilayah dengan jumlah guru yang memadai dan memiliki kompetensi di atas rata-rata, namun di daerah lain, jumlah guru maupun kompetensinya masih jauh dari standar yang diharapkan. Hal ini menimbulkan kesenjangan pendidikan antara daerah yang maju dan daerah yang tertinggal. Tuturnya.

Untuk itu, diperlukan upaya peningkatan kualitas guru melalui berbagai pelatihan dan pengembangan kompetensi. Di beberapa sekolah, bahkan ditargetkan agar guru minimal memiliki kualifikasi D4 atau S1. Peningkatan kualitas ini harus diiringi dengan pemerataan distribusi guru ke seluruh wilayah Indonesia agar seluruh peserta didik memiliki akses terhadap pendidikan yang setara.

Selain peningkatan kompetensi, kesejahteraan guru juga harus menjadi perhatian. Salah satu langkah yang sudah mulai diwacanakan adalah kenaikan gaji dengan syarat tertentu, misalnya bagi guru yang memiliki sertifikasi. Sertifikasi ini dapat memberikan peluang bagi guru untuk meningkatkan kualitas diri sekaligus kesejahteraan mereka. Dengan demikian, peningkatan kesejahteraan guru diharapkan tidak hanya berupa kenaikan gaji semata, tetapi juga memberikan mereka ketenangan dan motivasi untuk terus mengembangkan diri.

Peningkatan kualitas dan pemerataan kompetensi guru menjadi kunci utama untuk mendukung keberhasilan kurikulum dan pendidikan di tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat. Dengan guru yang kompeten dan sejahtera, pendidikan di Indonesia diharapkan mampu mencetak generasi yang unggul, adaptif, dan siap menghadapi tantangan global. Ujarnya

Zahratus syifa melanjutkan Bagaimana peran kecerdasan buatan (IA) dalam mendukung proses pembelajaran di era pendidikan saat ini, apakah IA mampu menggantikan peran guru dalam proses belajar-mengajar?
Mengapa?

Apa tantangan utama dalam mengintegrasikan IA ke dalam sistem pendidikan kita?

Ruslan Efendi mengatakan, Meskipun kecerdasan buatan (AI) memiliki kemampuan yang signifikan dalam membantu proses penyampaian informasi, perannya tidak dapat sepenuhnya menggantikan guru. Guru memiliki tugas yang jauh lebih luas, mencakup mendidik, membimbing, mengarahkan, dan memotivasi siswa untuk berkembang secara holistik, baik dari aspek kognitif, emosional, maupun sosial.

AI memungkinkan siswa mengakses materi pembelajaran lebih cepat, mendalam, dan luas, tetapi tanpa bimbingan guru, informasi tersebut berisiko disalahpahami, terutama dalam isu-isu sensitif seperti nilai-nilai agama dan budaya. Guru berperan penting memastikan siswa memahami informasi secara kritis dan bertanggung jawab, bukan hanya menerima mentah-mentah.

Selain itu, AI tidak dapat menggantikan proses pembelajaran yang melibatkan pengembangan keterampilan interpersonal, seperti kemampuan presentasi, diskusi, atau menjawab pertanyaan, dan berkolaborasi tidak dapat diakses atau dilatih melalui teknologi. Interaksi langsung dengan guru dan teman sekelas tetap menjadi elemen penting dalam membangun karakter dan kompetensi siswa.

Tantangan terbesar dalam penggunaan AI adalah mengelola ketergantungan siswa terhadap teknologi ini. Oleh karena itu, AI harus diposisikan sebagai alat bantu yang mendukung proses pembelajaran, sementara guru tetap menjadi aktor utama yang membimbing siswa untuk memanfaatkan teknologi secara bijak.

Dengan kolaborasi yang tepat antara guru dan AI, sistem pendidikan dapat berkembang lebih efektif tanpa mengurangi nilai-nilai penting dalam interaksi manusia dan pembentukan karakter siswa.

Saat ini, sistem pembelajaran menerapkan pendekatan Kurikulum Merdeka, di mana peran guru lebih difokuskan sebagai fasilitator daripada sebagai sumber utama ilmu pengetahuan. Peserta didik diberikan kebebasan untuk mengakses berbagai sumber materi, termasuk teknologi berbasis kecerdasan buatan (AI). Di satu sisi, hal ini memberikan manfaat, tetapi di sisi lain juga menimbulkan risiko ketergantungan. Untuk menghindari risiko tersebut, penting untuk memberikan kesadaran kepada siswa agar tetap merujuk pada referensi seperti buku, jurnal, atau sumber berita terkini, dan tidak semata-mata mengandalkan teknologi.

Dalam proses pembelajaran, pengembangan kemampuan seperti berbicara di depan umum (public speaking) dan berdiskusi perlu mendapatkan perhatian. Aktivitas presentasi tidak hanya berfungsi untuk menilai kualitas penyampaian, tetapi juga menjadi sarana pembelajaran untuk memperbaiki kekurangan serta meningkatkan pemahaman terhadap materi. Selain itu, keterlibatan aktif dalam organisasi dapat membantu mahasiswa mengembangkan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan keterampilan interaksi sosial yang diperlukan untuk menghadapi dunia kerja atau kehidupan bermasyarakat.

Hal lain yang tidak kalah penting adalah bahwa meskipun materi pembelajaran dapat terlupakan, kesan yang ditinggalkan oleh guru atau dosen sering kali membekas dalam ingatan siswa. Gaya mengajar, metode pembelajaran, dan karakter seorang pendidik menjadi inspirasi yang turut membentuk kepribadian peserta didik. Oleh karena itu, sebagai pendidik, memberikan dampak positif melalui pendekatan personal dalam proses mengajar menjadi hal yang sangat berharga. Tutur nya

Lanjut Zahratus Bagaimana pendapat bapak mengenai sistem pendidikan yang diterapkan di kampus saat ini dan
Bisa ceritakan pengalaman pribadi bapak selama menjadi dosen di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT)?

Apa tantangan terbesar yang Anda hadapi sebagai dosen, dan bagaimana Anda mengatasinya?

Lanjut Ruslan, Penerapan Kurikulum Merdeka di perguruan tinggi, salah satunya di Universitas Muhammadiyah Tangerang, khususnya pendekatan Outcome-Based Education (OBE). Dijelaskan bahwa sebelum adanya Kurikulum Merdeka, perguruan tinggi telah menerapkan pemilahan berdasarkan minat dan bakat mahasiswa, seperti memilih fakultas sesuai dengan bidang yang diminati, misalnya pendidikan atau ekonomi. Dengan hadirnya Kurikulum Merdeka, pendekatan ini menjadi semakin spesifik dan bertujuan untuk meningkatkan kesiapan lulusan dalam memasuki dunia kerja atau melanjutkan pendidikan.

Pendidikan berbasis OBE menitikberatkan pada pencapaian hasil tertentu, seperti kemampuan profesional, kontribusi kepada masyarakat, dan kesiapan bekerja. Implementasinya dilakukan melalui metode pembelajaran seperti magang, kerja praktik, atau tugas berbasis proyek. Mahasiswa didorong untuk terlibat dalam aktivitas praktis yang relevan dengan bidang studi mereka, sehingga mereka memiliki pengalaman nyata yang dapat mendukung karier mereka.

Selain itu, terdapat tantangan yang dihadapi oleh dosen dalam menangani mahasiswa dengan latar belakang, kemampuan, dan karakter yang beragam. Tugas dosen adalah memastikan seluruh mahasiswa berkembang dalam tiga aspek utama: kognitif (pengetahuan), afektif (sikap), dan psikomotorik (keterampilan). Sebagai contoh, mahasiswa yang cerdas secara akademis tetapi kurang disiplin memerlukan pendekatan berbeda dibandingkan dengan mahasiswa yang rajin tetapi kurang percaya diri.

Dosen juga dituntut untuk terus belajar dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi agar tidak tertinggal, bahkan dari mahasiswanya sendiri. Prinsipnya, berhenti belajar berarti berhenti mengajar. Oleh karena itu, dosen perlu secara konsisten memperbarui pengetahuan mereka agar tetap relevan dalam proses pembelajaran.

Sebagai kesimpulan, penerapan Kurikulum Merdeka dan pendekatan OBE di perguruan tinggi memberikan peluang sekaligus tantangan bagi dosen untuk mempersiapkan lulusan yang kompeten dan siap menghadapi dunia kerja. Hal ini memerlukan komitmen yang kuat untuk terus belajar dan memahami kebutuhan mahasiswa agar mereka dapat berkembang secara optimal di berbagai aspek.

Beragam aktivitas yang menarik, seperti kerja kelompok atau proyek tertentu, menjadikan suasana pembelajaran di kelas lebih dinamis dan menyenangkan bagi mahasiswa. Bagi dosen, tugas utamanya tetap sama, yaitu memimpin dan memberikan arahan, meskipun pelaksanaannya tidak selalu dilakukan di dalam kelas. Namun, terdapat tantangan dalam mengintegrasikan target-target pembelajaran berbasis proyek ke dalam setiap mata kuliah, khususnya untuk mata kuliah umum seperti Bahasa Inggris atau Bahasa Indonesia.

Sebaliknya, mata kuliah seperti Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) memiliki peluang lebih besar untuk diintegrasikan dengan pendekatan berbasis proyek. Sebagai contoh, mahasiswa dapat diberikan tugas untuk mengunjungi museum, instansi pemerintahan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), atau melakukan kajian terhadap Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Pada tahun 2017, saya memulai karier sebagai dosen. Salah satu mahasiswa yang saya bimbing adalah Robby. Selain Robby, ada juga mahasiswa lain bernama Andrian yang juga saya ajar pada tahun yang sama, di kelas dan program studi yang sama.

Saya hanya mengajar di Universitas Muhammadiyah Tangerang (UMT), dan merasa sangat nyaman karena dunia pendidikan adalah passion saya. Latar belakang pendidikan saya, mulai dari jenjang S1 hingga S2, mendukung minat ini. Saya menyelesaikan studi S1 di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) dan melanjutkan studi S2 di universitas yang sama karena program S2 di UMT belum tersedia pada saat itu. Meskipun jarak UMJ cukup jauh dari tempat tinggal, saya tetap melanjutkan pendidikan guna memenuhi syarat untuk menjadi dosen.

Dalam perjalanan pendidikan saya, saya lahir dan dibesarkan dalam keluarga Muhammadiyah. Namun, saat jenjang SMP, saya menempuh pendidikan di pesantren modern yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU), yang berfokus pada penguasaan bahasa. Ketika memasuki jenjang SMA, saya berencana pindah ke sekolah Muhammadiyah di Garut. Akan tetapi, karena sekolah tersebut tidak menerima siswa pindahan, saya akhirnya melanjutkan pendidikan di pesantren Persatuan Islam yang juga berada di Garut. Pesantren ini memiliki kurikulum yang dirancang untuk mencetak siswa menjadi pendidik (atau “mualimin” dalam bahasa Arab), yang berarti guru. Salah satu aspek menonjol dari kurikulum ini adalah adanya program magang sebagai bagian dari pembelajaran. Pungkasnya

Hasil studi penelitian Zahratus Syifa kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Tangerang.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *