DPP Konsperam: Pernyataan Wagub Maluku Jangan Di Kriminalisasi

SPIONNEWS.ID , MALUKU – Dalam konteks hukum di Indonesia, penistaan agama merupakan tindakan yang dapat diproses secara pidana jika memenuhi unsur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, terutama Pasal 156a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru, namun untuk menentukan apakah suatu pernyataan termasuk penistaan agama, harus dilakukan analisis hukum berdasarkan unsur-unsur dalam peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, serta pendekatan terhadap prinsip kebebasan berpendapat dan perlindungan terhadap agama dalam sistem hukum Indonesia.

Muhammad Ali Suneth, Ketua Bidang Hukum dan HAM DPP Konsperam Menuturkan, Sekarang mari kita analisis pernyataan di bawah ini:
“Orang Islam ini siang dong (mereka) tar (tidak) makan tapi malam dong makan banyak, uang tar ada tapi baju baru banya, keadaan seperti ini bisa menimbulkan inflasi”
Apakah pernyataan tersebut memenuhi unsur penistaan agama menurut hukum? tuturnya.

Muhammad Ali Suneth menegaskan, pernyataan Wagub Maluku Abdullah Vanath tidak masuk dalam unsur penistaan agama, sebab ia mengatakan bahwa :

  1. Pernyataan ini tidak mengandung unsur permusuhan atau kebencian, Pernyataan ini lebih merupakan observasi tentang kebiasaan konsumsi umat Islam selama bulan Ramadhan, Tidak ada kata-kata yang secara eksplisit menghina, merendahkan, atau menunjukkan kebencian terhadap Islam sebagai agama, kritik terhadap pola konsumsi atau ekonomi bukanlah bentuk penghinaan terhadap Islam itu sendiri.
  2. Tidak ada penyalahgunaan atau penodaan terhadap Islam, Penodaan agama biasanya
    terjadi jika ada tindakan yang melecehkan simbol, ajaran, atau ritual keagamaan, dalam kasus ini, tidak ada elemen yang menodai ajaran Islam. Agama Islam tidak melarang konsumsi makanan atau pembelian pakaian baru, dan pernyataan ini tidak menentang prinsip agama secara langsung.
  3. Tidak ada maksud menghalangi seseorang dari beragama Islam, tidak ada seruan atau
    ajakan untuk meninggalkan Islam. Pernyataan ini tidak membahas aspek teologis Islam, melainkan hanya kebiasaan ekonomi yang dilakukan oleh umat Islam dalam momen tertentu. Dari ketiga unsur utama dalam Pasal 156a KUHP, pernyataan ini tidak memenuhi salah satu pun unsur tersebut. Oleh karena itu, tidak dapat dikategorikan sebagai penistaan agama dalam konteks hukum pidana di Indonesia.

Ali Suneth menambahkan, Hukum Indonesia juga mengakui kebebasan berpendapat sebagaimana
dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Selain itu, dalam Pasal 19 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005, disebutkan bahwa kebebasan

Baca Juga : Rekam Jejak Sadali Ie : Sukses Dalam Memimpin Maluku

Berekspresi dapat dibatasi hanya jika:

  1. Untuk menghormati hak atau reputasi orang lain.
  2. Untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, atau kesehatan dan moral
    masyarakat.

Menurutnya, Dalam kasus ini, pernyataan tentang kebiasaan konsumsi umat Islam tidak memenuhi kriteria yang membahayakan ketertiban umum atau menghina individu tertentu. Oleh karena itu, Pernyataan ini lebih dekat dengan kebebasan berpendapat daripada tindakan pidana.imbuhnya

Lebih lanjut Suneth menegaskan, Dalam analisis kajian hukum yang telah dilakukan melalui Bidang Hukum dan HAM DPP KONSPERAM menyimpulkan bahwa:

  1. Pernyataan tersebut tidak memenuhi unsur Pasal 156a KUHP karena tidak ada niat menista, menghina, atau menyebarkan kebencian terhadap Islam.
  2. Kritik terhadap kebiasaan ekonomi umat Islam bukanlah penistaan agama karena tidak menyentuh aspek teologis atau ritual keagamaan.
  3. Hukum Indonesia mengakui kebebasan berpendapat dan kritik terhadap kebiasaan konsumsi tidak bisa dikategorikan sebagai pelanggaran hukum pidana.
  4. Preseden kasus penistaan agama menunjukkan bahwa penghinaan harus sangat jelas terhadap simbol atau ajaran agama, sementara dalam kasus ini hanya berbicara tentang perilaku ekonomi. Dengan demikian, pernyataan ini tidak dapat dikategorikan sebagai penistaan agama dalam perspektif hukum Indonesia.

“Sebaliknya, perbedaan pendapat seperti ini harusnya di selesaikan melalui diskusi yang lebih sehat dan edukatif, bukan melalui kriminalisasi,” tutup (BP)

Editor : Erwin B

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *