Kritik Pendidikan Masa Kini Untuk Masa Depan

Oleh: La Ode Muhammad Syamsir, SKM

SPIONNEWS.ID, BAUBAU – Menurut kami, dunia pendidikan di era generasi alpha ini sedang tidak baik-baik saja, generasi alpha bukan siswa tetangga yang sering alpha di sekolah ya! Generasi alpha adalah generasi yang lahir di tengah perkembangan teknologi yang pesat, seperti kecerdasan buatan (AI) dan perangkat pintar. Mereka sangat melek teknologi sejak usia dini, multitasking, dan terbiasa dengan informasi yang mudah diakses.

Namun hal ini justru menjadi boomerang di dunia pendidikan masa kini, mari kita bahas pelan-pelan. Akan lebih nikmat jika membaca tulisan ini dengan seruput kopi, teh atau susu bersama gorengannya.

Pertama, informasi yang mudah diakses justru menjadikan akses yang terbatas ke dunia pendidikan, tidak semua orang tua pelajar mampu membelikan anaknya gadget seperti handphone dan leptop, belum lagi pulsa data atau wifinya. Dampaknya pelajar dan orang tuanya ketinggalan informasi di sekolah misalnya PR anak SD yang dikirim lewat grub WA atau pelajar yang tidak mengikuti ujian tes berbasis aplikasi karena tidak punya hp android/iPhone, dimana aplikasi tersebut sudah diwajibkan sejak Sekolah Dasar. Untuk kalangan atas yang mampu kecanduan game online dan pornografi siswa telah menjadi hal yang tabu perusak dunia pendidikan.

Kedua, ketimpangan pendidikan, sudah jadi rahasia umum jika sekolah di perkotaan memiliki fasilitas yang lebih baik dibandingkan dengan sekolah di pedesaan. Sekolah dengan biaya mahal akan memiliki fasilitas yang jauh lebih unggul dibandingkan sekolah murah atau sekolah gratis, serta masih banyak ketimpangan lainnya yang jika saya sebutkan akan semakin panjang tulisan ini dan anda akan makin bosan membacanya.

Ketiga, kualitas guru, tenaga pendidik dan orang tua. Rendahnya kompetensi guru, khususnya dalam desain pembelajaran, penelitian dan Bahasa Inggris menjadi tantangan utama dunia pendidikan masa kini. Selain itu distribusi guru yang tidak merata, kesejahteraan yang belum optimal (guru honorer), dan kurangnya perlindungan terhadap guru juga turut mempengaruhi kualitas pendidikan. Belum lagi orang tua siswa yang saking pintarnya “mengerjakan PR anaknya sendiri agar supaya nilainya bisa tinggi, padahal justru membuat anaknya menjadi bodoh”.

Keempat, kurikulum yang tidak relevan, hal tersebut dapat menyebabkan berbagai masalah, seperti rendahnya pemahaman dan pencapaian akademik, siswa belajar banyak tetapi belum paham pelajaran tetapi guru tetap melanjutkan pelajarannya, akhirnya menyebabkan kurangnya motivasi belajar, dan kesulitan siswa dalam menghadapi tantangan dunia kerja dan kehidupan sehari-hari yang tidak nyambung.

Kelima, Fasilitas dan infrastruktur, tidak jauh berbeda dengan persoalan di awal tadi, ini juga jelas menjadi persoalan di dunia pendidikan yang perlu dibenahi, begitu banyaknya fasilitas sekolah yang tidak layak, kerusakan mulai dari bangunan hingga jalanan akses kesekolahan, dan ketidaksesuaian fasilitas dengan kebutuhan terutama di daerah terpencil.

Keenam, kesenjangan digital, kembali ke persoalan pertama yakni masalah informasi. Perbedaan akses dan penggunaan teknologi digital diantara siswa, guru dan sekolah. Ini mencakup akses ke perangkat keras (komputer, smartphone), akses internet, keterampilan digital, dan manfaat yang diperoleh dari teknologi. Hal ini berdampak pada kualitas pendidikan, meningkatkan jurang pemisah antara siswa perkotaan dan pedesaan, serta siswa dari keluarga mapan dan tidak mapan.

Terakhir, kualitas ujian dan evaluasi, ujian akhir sekolah menjadi momok menakutkan bagi sebagian siswa siswi mulai dari tingkat SD, SMP, hingga tingkat SMA. Belum lagi masalah aspek kognitif dan ketidakadilan penerapan ujian. Evaluasi yang tidak memadai dapat menyebabkan tekanan psikologis pada siswa dan kurang mencerminkan kemampuan mereka secara menyeluruh.

Solusi menjadi sorotan bagi pemangku kebijakan dalam hal ini pemerintah pusat dan daerah. Jika Bung Rocky Gerung mengkritik tapi tidak memberikan solusi, begitu juga saya tidak punya solusinya. Saya hanya bisa berharap dan berdoa semoga kedepan pendidikan Indonesia bisa lebih baik, lebih maju, dan lebih merata. Selamat hari pendidikan Nasional, Jum’at 2 Mei 2025.

Bonus solusi, seperti kata pemimpin jepang Kaisar Hirohito, yang bertanya saat setelah bom atom menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki, “Berapa jumlah guru yang tersisa?”

Berikut adalah beberapa konteks dan detail terkait pernyataan tersebut;

Prioritas terhadap guru:
Kaisar Hirohito menekankan pentingnya guru dalam membangun kembali Jepang setelah perang.

Pemulihan melalui pendidikan:
Ia percaya bahwa pendidikan merupakan kunci untuk membangun kembali negara dan mengejar ketertinggalan dari negara lain.

Peran guru dalam pembangunan:
Kaisar Hirohito melihat guru sebagai fondasi bagi peradaban baru, yang penting untuk menciptakan generasi penerus yang berkualitas.

Penghargaan terhadap guru:
Pernyataannya mencerminkan penghargaan yang tinggi terhadap guru dan peran mereka dalam masyarakat Jepang.

Kisah pemulihan Jepang bisa dijadikan inspirasi dan solusi:
Setelah perang, Jepang berhasil bangkit dengan cepat, sebagian besar berkat fokus pada pendidikan dan peran guru, seperti yang diyakini Kaisar Hirohito.

Penulis adalah Redaktur Pelaksana spionnews.id

Editor : Rusly, S.Mn.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *