AI di Indonesia Tanpa Aturan: Dari Ancaman Nyata hingga Solusi Belajar dari Brussels

Oleh : Syahdan Alfaatih

Kecerdasan buatan atau Artificial Intelligence (AI) kini menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan modern.

Ia bukan sekadar inovasi teknologi, tetapi kekuatan transformatif yang mulai menggantikan cara manusia bekerja, belajar, bahkan berpikir. Namun, di balik semua potensinya, AI juga menyimpan risiko yang tak main-main —mulai dari bias algoritmik, pelanggaran privasi, hingga disrupsi pasar kerja.

Di tengah ketidakpastian ini, satu hal menjadi terang: kita butuh regulasi yang bijak, progresif, dan bertanggung jawab.
Indonesia hari ini tengah berada di persimpangan jalan.

Di satu sisi, semangat untuk memajukan teknologi AI nasional patut diapresiasi. Namun di sisi lain, absennya regulasi yang mengikat secara hukum selain himbauan etis berupa Surat Edaran Menteri membuat ekosistem AI kita ibarat kendaraan tanpa rem darurat.

Tanpa fondasi hukum yang jelas, AI berisiko menjadi pedang bermata dua: bisa mengangkat peradaban, bisa pula melukai nilai-nilai kemanusiaan secara sistematis.

Hingga saat ini, Indonesia memang belum memiliki regulasi khusus mengenai kecerdasan buatan. Beberapa regulasi yang bisa dikaitkan dengan AI hanyalah bersifat umum, seperti UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik), UU Perlindungan Data Pribadi, hingga Rancangan Undang-Undang tentang Kecerdasan Artifisial yang masih dalam tahap wacana.

Hal ini jelas menunjukkan celah besar dalam perlindungan hukum masyarakat, terutama ketika muncul kasus-kasus baru yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Salah satu contohnya adalah maraknya pelecehan digital yang memanfaatkan teknologi AI, seperti mengedit foto perempuan menjadi seolah-olah “telanjang”.

Ini bukan sekadar masalah teknologi, tetapi masalah hukum dan etika yang nyata. Salah satu kasus tragis terjadi pada seorang anak perempuan berusia 12 tahun di Kediri, yang menjadi korban pelecehan seksual digital setelah wajahnya dimanipulasi ke dalam tubuh telanjang oleh pelaku menggunakan teknologi pengeditan digital.

Kasus ini sempat diangkat oleh Tempo, dan menggambarkan betapa rentannya masyarakat, terutama anak-anak, terhadap penyalahgunaan AI dan manipulasi visual tanpa perlindungan hukum yang jelas. Korban sering kali tak memiliki landasan hukum yang kuat untuk menuntut pelaku karena belum ada pasal yang secara spesifik mengatur hal tersebut.

Ini adalah alarm keras bahwa kita tidak bisa lagi menunda regulasi AI.
Kasus lain yang menyoroti kekosongan hukum adalah persoalan hak cipta atas karya yang dihasilkan oleh AI. Misalnya, baru-baru ini kreator konten Noxxa menciptakan meme AI “anomali tung-tung sahur” yang viral, namun digunakan tanpa izin oleh pihak Free Fire untuk produk skin game mereka.

Tidak ada komunikasi, izin, atau bentuk apresiasi apa pun terhadap pencipta awal. Situasi ini menimbulkan pertanyaan serius: siapa yang memiliki hak atas produk berbasis AI? Apakah kreator manusianya, atau platform yang memfasilitasi? Tanpa regulasi yang jelas, hal seperti ini akan terus terulang dan merugikan banyak pihak.

Terlebih lagi, dalam konteks industri nasional, saat ini memang penggunaan AI belum masif. Tapi jangan salah, pertumbuhannya sangat cepat. Jika tidak segera dipayungi oleh regulasi yang tepat, industri Indonesia bisa salah arah.

Lebih parahnya lagi, para pekerja bisa menjadi korban: entah digantikan AI tanpa persiapan, atau justru terjebak dalam ekosistem kerja yang tidak adil karena ulah sistem otomatisasi yang tidak diatur.
Uni Eropa telah menawarkan jalan. Melalui EU AI Act, Eropa menunjukkan kepada dunia bahwa inovasi dan etika tidak harus saling menegasikan.

Regulasi ini secara cerdas mengklasifikasikan sistem AI berdasarkan risiko:
• Risiko Tidak Dapat Diterima (Unacceptable): Teknologi AI yang dianggap mengancam hak fundamental, seperti sistem social scoring oleh pemerintah, dilarang sepenuhnya.

• Risiko Tinggi (High-Risk): Sistem AI di sektor krusial seperti rekrutmen tenaga kerja, penegakan hukum, atau layanan kesehatan, harus mematuhi serangkaian kewajiban ketat sebelum bisa digunakan.

• Risiko Terbatas dan Minimal (Limited and Minimal Risk): Aplikasi seperti chatbot atau filter spam dikenai kewajiban transparansi yang lebih ringan.
Pendekatan berbasis risiko ini menjadi preseden hukum pertama yang tidak hanya memayungi warganya dari potensi penyalahgunaan teknologi, tetapi juga memberikan kepastian hukum bagi industri.

Meskipun EU AI Act belum secara khusus mengatur persoalan hak cipta atau pelecehan digital berbasis AI, pendekatan regulasi ini yang berbasis risiko dan transparansi dapat menjadi pijakan awal. Misalnya, bentuk AI yang digunakan untuk manipulasi visual atau eksploitasi seksual berpotensi masuk dalam kategori “risiko tidak dapat diterima” dan dilarang di bawah kerangka tersebut.

Sementara itu, kewajiban transparansi dan pelabelan dalam EU AI Act juga bisa menjadi dasar awal untuk melindungi hak cipta konten berbasis AI dan mencegah penyalahgunaan di ruang digital.
Fenomena ini dikenal sebagai “Brussels Effect”, ketika standar regulasi Eropa diadopsi secara de facto oleh perusahaan dan negara-negara lain karena pengaruh pasar UE yang begitu besar.

Perusahaan teknologi global lebih memilih untuk menerapkan satu standar tertinggi di seluruh produk mereka daripada menciptakan versi yang lebih lemah untuk pasar lain.

Kita telah menyaksikannya dalam implementasi GDPR, regulasi privasi data Eropa yang pada akhirnya menginspirasi banyak negara, termasuk Indonesia, untuk membentuk regulasi serupa.

Maka, mengapa kita tidak melakukan hal yang sama terhadap AI?
Menyusun regulasi dari nol bukan hanya lambat dan mahal, tetapi juga rentan terjebak pada kompromi politik yang melemahkan substansi dan membuat kita kehilangan momentum.

Namun, bukan berarti Indonesia harus meniru EU AI Act secara keseluruhan. Yang lebih ideal adalah menjadikan kerangka kerja tersebut sebagai inspirasi awal —menyesuaikan prinsip-prinsip yang relevan dengan konteks sosial, budaya, dan hukum kita sendiri.

Pendekatan ini lebih fleksibel dan memungkinkan terciptanya regulasi yang adaptif terhadap kebutuhan nasional. Kita tidak perlu malu belajar dari yang sudah terbukti berhasil, asalkan tetap mengutamakan kepentingan publik dan kedaulatan regulasi nasional.

Untuk mengatasi persoalan-persoalan ini, Indonesia perlu mengambil beberapa langkah strategis.
• Pertama, mendorong percepatan pembentukan regulasi AI yang bersifat komprehensif, tidak hanya melindungi dari sisi hukum, tetapi juga mencakup aspek sosial, budaya, dan ekonomi.
• Kedua, membentuk badan pengawas independen yang dapat mengawasi penggunaan AI di berbagai sektor, termasuk dalam ranah digital, industri kreatif, dan layanan publik.
• Ketiga, melakukan sosialisasi dan edukasi publik secara massif mengenai penggunaan dan risiko AI, agar masyarakat dapat memahami hak dan kewajiban mereka dalam dunia digital yang semakin kompleks.
• Dan keempat, memastikan keterlibatan semua pemangku kepentingan —pemerintah, industri, akademisi, dan masyarakat sipil dalam proses perumusan kebijakan agar regulasi yang dihasilkan bersifat inklusif dan aplikatif.

Tanpa regulasi yang kuat, kita berisiko membiarkan algoritma menentukan siapa yang layak mendapat pinjaman, pekerjaan, bahkan keadilan. Dan dalam senyapnya kode-kode biner, ketidakadilan bisa terjadi tanpa wajah, tanpa jejak, dan tanpa ada pihak yang bisa dimintai pertanggungjawaban.

Indonesia memerlukan regulasi AI yang tidak hanya melindungi masyarakat dari bahaya teknologi, tetapi juga memberi arah yang jelas bagi pelaku industri untuk berkembang secara etis. Dalam dunia yang terhubung global, kedaulatan hukum bukan berarti menutup diri, melainkan memiliki kebijaksanaan untuk mengadopsi standar terbaik dunia demi kepentingan nasional kita sendiri.

Sebelum saya akhiri tulisan ini, izinkan saya mengutip perkataan dari Presiden Microsoft, Brad Smith, yang secara tepat merangkum urgensi regulasi:
“Semakin kuat sebuah alat, semakin besar pula kebutuhan akan standar dan pengaman yang akan mengatur penggunaannya.”

Kalimat tersebut menegaskan bahwa regulasi bukanlah penghalang, melainkan bagian tak terpisahkan dari inovasi yang bertanggung jawab. Maka, jika kita ingin menjaga kemanusiaan dalam era mesin, sudah saatnya Indonesia menengok ke Brussel, bukan untuk tunduk, tetapi untuk belajar dan beradaptasi.

Nama Penulis : Syahdan Alfaatih
Email : afaatih6@gmail.com

Mengucapkan Selamat Hari Raya Idul Adha, 10 Dzulhijjah 1446 H / 2023 M.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *