DPP KONSPERAM Mendesak Pemerintah Pusat Bertanggungjawab Atas Kebobolan 522 Trilyun Di Perairan Laut Maluku

SPIONNEWS.ID MALUKU – Maluku adalah anugerah Tuhan yang kaya akan potensi kelautan dan perikanan, yang dapat menjadi warisan berharga bagi generasi mendatang. Dengan luas perairan mencapai 92,2 persen, Maluku menjadi sasaran eksploitasi besar oleh korporasi, yang justru merugikan masyarakat setempat.

Melihat potensi wilayahnya, masyarakat Maluku mengusulkan kepada Presiden RI, Prabowo Subianto, agar memberikan status Otonomi Khusus (Otsus) di bidang Kelautan dan Perikanan. Jika kebijakan ini diterapkan, Maluku berpotensi menjadi daerah yang maju, mandiri, dan terbebas dari kemiskinan ekstrem. Saat ini, meskipun kaya sumber daya alam, Maluku masih tercatat sebagai provinsi termiskin keempat di Indonesia.

Hal ini diungkapkan, Yasir Rumbouw, selaku Ketua Umum Konsorsium Pemuda Seram (KONSPERAM), di kediamannya Kota Ambon, Jumat (31/01/2025).

Menurutnya, berdasarkan hasil kajian internal investigasi dan advokasi KONSPERAM, terhadap KEPMEN KP Nomor 50 Tahun 2017 dan KEPMEN KP Nomor 19 Tahun 2022 tentang estimasi potensi sumber daya ikan (SDI), jumlah tangkapan yang diperbolehkan, serta tingkat pemanfaatan sumber daya ikan di 11 WPPNRI pasca-moratorium, ditemukan adanya eksploitasi yang signifikan.

“Evaluasi tim KONSPERAM juga menyoroti upaya eksploitasi di sektor kelautan dan perikanan, khususnya di WPPNRI perairan Laut 714 (Laut Banda dan sekitarnya), 715 (Laut Seram dan sekitarnya), serta 718 (Laut Arafura, Laut Aru, dan sekitarnya),” ujar Rumbouw.

Masih menurut Rumbouw, “Potensi sumber daya ikan yang tercantum dalam lampiran Keputusan Menteri KP di tiga WPPNRI perairan laut mencapai lebih dari 4.669.030 ton per tahun. Dari jumlah tersebut, batas tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 80% dari potensi lestari, yaitu sekitar 3.735.224 ton per tahun. Saat ini, tingkat pemanfaatannya telah mencapai rata-rata 68% atau sekitar 2.548.854 ton per tahun, yang menyumbang 37% dari kuota sumber daya ikan (SDI) nasional, sesuai Kepmen KP No. 50 Tahun 2017,” tutur Yasir Rumbouw.

Rumbouw melanjutkan, “Dari kajian tersebut, ditemukan kebocoran ekonomi mencapai Rp 305 triliun. Angka ini mencakup potensi retribusi 5% atau sekitar Rp 15 triliun serta potensi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% atau sekitar Rp 30 triliun. Semua itu berasal dari total potensi ekonomi sumber daya ikan yang diperkirakan mencapai Rp 560 triliun, dengan jumlah yang diperbolehkan untuk dimanfaatkan sebesar Rp 448 triliun dalam periode pasca-moratorium 2018–2021” ungkapnya.

Selain itu, lanjutnya, total kebocoran tersebut belum termasuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari pungutan pra-produksi pengusaha perikanan (PPP) dan pungutan hasil perikanan (PHP). Sektor lain seperti kargo peti kemas, tambat labuh, bahan bakar (solar dan bensin), perlengkapan alat tangkap, serta perbekalan nelayan di kapal juga diperkirakan mengalami kebocoran ekonomi hingga ratusan triliun rupiah.

“Temuan serupa juga terdapat dalam KEPMEN KP No. 19 Tahun 2022 tentang estimasi potensi sumber daya ikan. Berdasarkan data tersebut, potensi SDI nasional diperkirakan mencapai 4.386.841 ton per tahun, dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB) sebesar 80% atau sekitar 3.509.473 ton per tahun. Saat ini, tingkat pemanfaatannya telah mencapai rata-rata 68% atau sekitar 2.419.154 ton per tahun,” ungkap Rumbouw.

Lebih lanjut, Yasir Rumbouw menyampaikan bahwa, kebocoran ekonomi serupa juga terjadi pada 2022–2024 setelah diberlakukannya KEPMEN KP No. 19 Tahun 2022, dengan total kerugian mencapai Rp 217 triliun. Jumlah ini mencakup potensi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) pasca-produksi sebesar 10% atau sekitar Rp 21 triliun, pungutan retribusi 5% atau Rp 10,5 triliun, serta potensi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10% sebesar Rp 21 triliun.

“Dari total potensi ekonomi sumber daya ikan (SDI) sebesar Rp 393 triliun, jumlah yang diperbolehkan untuk dimanfaatkan mencapai Rp 315 triliun. Namun, kebocoran ekonomi ini belum termasuk sektor kemaritiman lainnya, seperti kargo peti kemas, tambat labuh, bahan bakar (solar dan bensin), perlengkapan alat tangkap nelayan, serta perbekalan kapal, yang juga diperkirakan mencapai ratusan triliun rupiah,” beber Rumbouw.

Menurut Yasir Rumbouw, “Jika dihitung, kebocoran ekonomi pasca-moratorium 2018 hingga 2024 di Provinsi Maluku akibat pemanfaatan sumber daya ikan (SDI) mencapai Rp 522 triliun. Potensi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang hilang sekitar Rp 52 triliun, sementara potensi retribusi mencapai Rp 26 triliun. Angka ini belum termasuk kebocoran di sektor kemaritiman, seperti kargo peti kemas, tambat labuh, bahan bakar (solar dan bensin), perlengkapan alat tangkap nelayan, serta perbekalan kapal, yang juga diperkirakan mencapai ratusan triliun rupiah,” ungkapnya.

Oleh karena itu, dirinya mengingatkan, kebijakan Pemerintah Pusat mengenai Peraturan Pemerintah tentang Penangkapan Ikan Terukur Berbasis Kuota, khususnya di zona 03 WPPNRI 714, 715, dan 718, menunjukkan banyak ketidaksesuaian dengan prinsip keberlanjutan, transparansi, dan keadilan dalam pengelolaan sumber daya. “Dalam kajian kami, kebijakan ini memungkinkan penanaman modal asing dan nasional untuk eksploitasi laut Maluku dengan sistem kontrak berbasis kuota selama 30 tahun, sesuai masa berlaku SIUP,” ucapnya.

Sementara itu, masih kata dia; “WPPNRI 571 (Selat Malaka dan Laut Andaman), 712 (Laut Jawa), serta 713 (Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali) justru hanya diperuntukkan bagi penanaman modal dalam negeri dengan sistem eksploitasi non-kuota,” jelas Yasir Rumbouw.

Ketua Umum KONSPERAM menegaskan bahwa berdasarkan hasil temuan Tim Kajian Investigasi dan Advokasi Konsorsium Pemuda Seram (KONSPERAM), yang sebelumnya juga menjadi referensi bagi Pemerintah Pusat dan Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto, pihaknya mendesak evaluasi terhadap kinerja Menteri Kelautan dan Perikanan saat ini.

“KONSPERAM mencurigai adanya keterlibatan dalam melindungi korporasi yang melakukan illegal fishing di perairan Maluku, yang mengakibatkan kerugian hingga triliunan rupiah bagi provinsi ini,” tegas Rumbouw.

Ia melanjutkan, “Pemerintah Daerah Provinsi Maluku yang terpilih saat ini harus bersikap tegas terhadap kebocoran triliunan rupiah di sektor pemanfaatan potensi perikanan yang telah merugikan daerah. Oleh karena itu, Menteri Kelautan dan Perikanan, Sakti Wahyu Trenggono, harus bertanggung jawab atas kerugian besar di sektor kelautan dan perikanan Maluku, yang nilainya mencapai triliunan rupiah dan sangat merugikan masyarakat,” tutup Rumbouw.(*)

Liputan : EB / BP

Editor : Erwin Banea & Sdr. LN

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *