Oleh : Muhammad Ali Suneth
(KABID Hukum dan HAM DPP Konsorsium Pemuda Seram)
SPIONNEWS.ID, MALUKU – Tiga Kabupaten di Pulau Seram di provinsi Maluku, yakni Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Kabupaten Maluku Tengah (Malteng), dan Seram Bagian Timur (SBT) sebagai wilayah yang sarat akan keberagaman budaya, agama, dan sejarah kolonial merupakan tanah di mana identitas lokal sangat kuat ikatannya pada struktur Desa adat (Negeri adat). Namun ironisnya, struktur sosial yang justru menjadi fondasi keberagaman tersebut belum mendapat pengakuan yang tegas dalam kebijakan lokal. Ketiadaan Peraturan Bupati (Perbup) yang secara eksplisit mengakui dan melindungi keberadaan Desa-desa adat menjadi titik lemah serius yang berpotensi melanggengkan konflik, baik vertikal maupun horizontal.
Desa adat dengan segala institusi, nilai, dan norma yang melekat, telah menjadi pilar utama pengelolaan sosial dan sumber daya. Namun, dalam praktik pemerintahan, terjadi tumpang tindih antara sistem desa administratif dan Desa adat, yang tidak jarang melahirkan konflik batas wilayah, klaim petuanan, dualisme kepemimpinan, hingga kekerasan antar komunitas. Oleh karena itu, sangat mendesak bagi bupati di Pulau Seram untuk menginisiasi Perbup tentang pengakuan dan perlindungan Desa-desa adat, yang dapat menjadi langkah awal menuju konsolidasi sosial dan pencegahan konflik struktural di masa depan.
Baca Juga : Sekdes Kamar Diduga Merusak Lingkungan Dan Merugikan Masyarakat
Secara normatif, amanat untuk mengakui dan melindungi Desa adat sudah jelas tertuang dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, yang menyatakan: “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya”
UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa juga membuka ruang bagi keberadaan desa adat yang sejajar dengan Desa administratif. Permendagri No. 52 Tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat telah diterbitkan. Namun hingga kini, belum ada kebijakan operasional di tingkat daerah, baik di SBB, Malteng, maupun SBT, untuk mengimplementasikan amanat konstitusi ini. Tanpa Perbup, keberadaan Desa adat hanya diakui secara kultural, namun tidak secara hukum-formal. Hal ini menimbulkan kelemahan representasi dalam perencanaan pembangunan, pemetaan wilayah, bahkan penyelesaian konflik.
Desa adat di Pulau Seram bukan sekadar struktur administratif, melainkan satuan identitas yang meliputi:
- Struktur sosial (soa, mata rumah parentah),
- Norma hukum adat,
- Hak ulayat dan tanah petuanan,
- Relasi antar Negeri (pela, gandong, teon),
- Sistem pengambilan keputusan (saniri, Raja adat).
Tanpa pengakuan formal, masyarakat adat kehilangan hak untuk mengelola sumber daya mereka, dan nilai-nilai lokal mulai digantikan oleh standar eksternal. selain itu, banyak generasi muda kehilangan koneksi dengan identitas adatnya karena tidak mendapat ruang afirmasi dari negara.
Baca Juga : Pernyataan Resmi Sekretaris Umum Tim Pemekaran CDOB Raya Terkait Konflik Di Seram Utara
Tanah-tanah adat di tiga kabupaten di Pulau Seram menjadi sumber konflik ketika investor, negara, dan masyarakat adat tidak memiliki acuan yang sama. Ketika Desa adat tidak diakui secara hukum, maka:
- Hak atas tanah menjadi lemah,
- Pemerintah Desa administratif mengeluarkan rekomendasi yang mengganggu norma adat serta
konflik horizontal antar Desa dan menjadi sulit diatasi karena tidak ada rujukan adat bersama.
Perbup akan memungkinkan adanya sistem satu peta wilayah adat dan tata kelola sumber daya alam berbasis hak kolektif, bukan semata-mata kepentingan ekonomi pada saat itu.
Banyak konflik di Pulau Seram yang bersumber dari dualisme kepemimpinan antara Raja adat dan Kepala Desa. Konflik ini sering dimanipulasi oleh aktor politik lokal yang memanfaatkan dukungan identitas. Tanpa kejelasan hukum, tokoh adat bisa dimarginalisasi oleh struktur formal, dan sebaliknya, kepala Desa kehilangan legitimasi sosial di masyarakat. Dengan adanya Perbup, proses seleksi dan legitimasi kepemimpinan adat bisa terintegrasi dengan sistem pemerintahan desa, menghindari benturan resmi yang sering kali memicu kekerasan.
Tanpa pengakuan hukum, lembaga- lembaga adat tidak bisa digunakan dalam penyelesaian konflik secara sah. padahal, dalam banyak kasus, mediasi adat jauh lebih efektif karena diterima secara kultural. Perbup akan memungkinkan terbentuknya Forum Adat Kabupaten, saniri adat bersama, atau lembaga mediasi petuanan yang mampu bekerja lintas Desa untuk mencegah eskalasi konflik.
Struktur Perbup ideal yang dibutuhkan, yakni:
- Landasan yuridis, filosofis, dan sosiologis pengakuan Desa adat.
- Mengatur pengakuan, perlindungan, pemberdayaan, dan integrasi Desa adat dalam sistem pemerintahan.
- Memiliki wilayah petuanan, sejarah mata rumah parentah, struktur sosial adat, dan hukum adat yang hidup.
- Melalui tim pengakuan Desa adat Kabupaten, melibatkan sejarawan, tokoh adat, dan OPD terkait.
Hak atas tanah, budaya, pemerintahan adat, serta kewajiban menjaga NKRI, HAM, dan keinginan. - Sinergi antara raja dan kepala desa, antara saniri dan BPD.
- Dukungan anggaran, pelatihan, dan ruang pengambilan keputusan di tingkat kabupaten.
- Mekanisme penyelesaian konflik antar desa adat, serta sanksi atas pelanggaran hukum adat.
Kami mendorong ketiga Bupati di Pulau Seram untuk segera membentuk:
- Tim penyusun Perbup, melibatkan tokoh adat, akademisi, perempuan, dan generasi muda adat.
- Audit wilayah adat , bekerja sama dengan BIG, ATR/BPN, dan komunitas lokal,
- Sosialisasi hukum adat khususnya pada generasi muda di sekolah dan komunitas.
- Integrasi Perbup ini ke dalam RPJMD dan RTRW kabupaten.
Perbup ini bukan sekedar instrumen hukum, namun simbol komitmen politik Bupati terhadap masa depan yang damai, adil, dan amanah untuk seluruh masyarakat di tiga kabupaten, tanpa mengesampingkan nilai-nilai leluhur.
Ketika konflik antar Desa di Pulau Seram terus berulang, kita harus sadar bahwa penyelesaiannya tidak cukup hanya melalui keamanan dan administrasi. Kita membutuhkan pendekatan yang lebih dalam, struktural, dan berbasis identitas lokal. Perbup tentang Pengakuan dan perlindungan Desa adat adalah instrumen strategi dan moral untuk mencegah konflik, memulihkan kepercayaan, serta memperkuat keutuhan sosial di tanah Nusa Ina.
Bupati yang mencatat sejarah bukanlah yang membangun infrastruktur sebanyak-banyaknya, tetapi yang memperkuat akar sosial warganya, dan akar itu adalah Desa adat. (ABR)
Editor : EB