“Bentuk Kesyukuran Masyarakat Adat Kadie Tuagana, Busoa Batauga”
SPIONNEWS.ID, Batauga – Acara adat warga Tuagana di Kelurahan Busoa, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan (Busel), Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra), menjadi salah satu tradisi tahunan yang dihadiri oleh seluruh warga lingkungan kelurahan tersebut di Galampa Tuagana.
Tradisi ini telah diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat Kelurahan Busoa. Biasanya, acara ini diselenggarakan setiap kali panen jagung tiba. Namun, dalam tiga tahun terakhir, acara ini juga digelar bersamaan dengan pelaksanaan Galampa Tuagana di Kelurahan Busoa. Tahun ini, kegiatan tersebut berlangsung pada Kamis, (30/01/2025).
Saat dikonfirmasi, salah satu Tokoh Adat Parabela, Hidayat, mengatakan, “Kegiatan ini merupakan acara adat tahunan yang rutin dilakukan oleh warga Tuagana yang tinggal di lingkungan Kelurahan Busoa, Kecamatan Batauga, Kabupaten Buton Selatan. Acara ini merupakan wujud syukur masyarakat adat kepada Yang Maha Kuasa atas hasil panen jagung yang telah dilakukan beberapa bulan lalu, sekaligus menjadi bagian dari tata cara ritual adat.” ungkapnya kepada awak media.
Ia menambahkan, dalam acara adat tahun ini, pihaknya menampilkan tarian penyambutan bagi para pejabat yang hadir. Pada kesempatan ini, turut hadir perwakilan dari Pj. Bupati Buton Selatan, yakni Staf Ahli Bidang Perencanaan dan Keuangan, serta perwakilan dari Dinas Pariwisata, Dinas Kebudayaan, dan beberapa kepala dinas lainnya.
“Dalam acara ini, kami juga menampilkan tarian penyambutan berupa Tari Mangaru dan Tari Linda sebagai bagian dari warisan budaya yang hingga kini masih kami pertahankan. Pelaksanaan Tari Linda ini juga didukung oleh keterlibatan sanggar tari yang telah kami dirikan berdasarkan SK (Surat Keputusan, Red) Kelurahan dan disahkan oleh SK Kebudayaan. Sanggar ini bertujuan untuk meningkatkan sumber daya manusia dalam bidang pelestarian budaya,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ia menjelaskan, ritual itu biasanya dilaksanakan sebagai ungkapan syukur kepada leluhur atas karunia panen jagung yang melimpah. Ungkap dia, tradisi tersebut telah berlangsung sejak zaman dahulu kala, jauh sebelum Indonesia merdeka, dan dipercaya dapat membawa keberkahan bagi seluruh masyarakat. Sehingga, pihaknya bersyukur mendapat dukungan penuh dari pemerintah, khususnya Dinas Kebudayaan Buton Selatan dalam melestarikan warisan budaya tersebut.
“Sejauh ini, kegiatan yang kami laksanakan berkaitan dengan hasil panen dari tanaman warga yang berada di kawasan pegunungan. Jarak antara Baruga dan lahan pertanian atau perkebunan kami sekitar 5 kilometer. Adapun luas lahan yang digunakan warga untuk bercocok tanam kurang lebih 30 hektar,” tuturnya.
Ia menuturkan, akses jalan menuju perkebunan mereka sangat sulit ditempuh, bahkan hanya bisa dilalui dengan berjalan kaki. Oleh karena itu, mereka berharap agar pemerintah dapat membangun jalan tani, sehingga masyarakat dapat lebih optimal dalam mengelola lahan pertanian mereka. Dengan adanya jalan yang memadai, hasil pertanian diharapkan dapat meningkat, dan luas perkebunan dapat dimanfaatkan dengan lebih baik.
“Salah satu lokasi perkebunan kami berada di kampung lama, tempat di mana para orang tua kami dahulu tinggal dan berkebun. Dahulu, masyarakat Tuagana diminta oleh pemerintah untuk turun dan menetap di dekat jalan raya, sehingga kami bisa mengakses Busoa,” ujarnya.
Lebih jauh, dirinya mengungkapkan; “Di sana (perkebunan masyarakat Tuanggana, Red) juga terdapat prasasti sejarah, yang dalam budaya Buton disebut Sangia, yaitu Sangia Parabela Tuagana. Itu merupakan induk dari ritual ini, yang sebelum dilakukan di Galampa, terlebih dahulu kami adakan di sana. Ritual yang kami laksanakan di tempat ini adalah acara kedua,” imbuhnya.
Sementara itu, pada kesempatan yang sama, Ketua Panitia, Miswar, menjelaskan, “Dalam acara adat ini, kami menghadirkan beberapa tarian lokal, termasuk Tari Linda dan Tari Mangaru, yang disusun dengan pembacaan doa dalam Galampa Tuagana. Acara puncaknya adalah Tumbak Batari, yaitu ritual melempar jagung ke arah pohon Batari.
Ia pun menjelaskan bahwa, jagung tersebut digantung pada sebuah tombak yang terbuat dari tebu merah, yang di bagian alasnya dipasang bambu setengah ruang. Ketika dilempari, jagung akan jatuh dan pohon Batari akan tumbang. Ritual ini dikenal dengan sebutan Bongkahano Taho.
“(Untuk itu, Red) kami berharap agar pemerintah daerah dapat membangun jalan menuju ke kebun kami, yang berjarak sekitar 5 km dan saat ini hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki,” harapnya. (*)
Liputan : Hariyadi
Editor : Harry, Sdr. LN & Sdr. RAL