Generasi Muda Sampolawa Kaji Kembali Martabat 7 Buton

“Mereka, anak- anak Gerakan Sampolawa Mengajar dari Selatan Pulau Buton & Majelis Tarekat Syattariyah Wilayah Buton telah datang bersuara dengan kembali menggali Tarekat Syattariyah, Wahdatul Wujud, dan Martabat 7 di Kesultanan Buton”.

Penulis : La Ode Nisaid Suhada, S.Pd

Galeri Gora (Bau Bau), 10 April 2025 – Tarekat Syattariyah, yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah spiritualitas Islam di Indonesia, telah lama dikenal sebagai salah satu tarekat sufi yang banyak berkembang di wilayah-wilayah Kesultanan Nuswantara, termasuk di Kesultanan Buton. Beriringan dengan konsep Wahdatul Wujud dan ajaran Martabat Tujuh, tarekat ini turut memberikan warna pada perkembangan keagamaan di daerah tersebut, khususnya di Buton, sebuah wilayah yang kaya akan tradisi Islam yang dipengaruhi oleh ajaran-ajaran tasawuf sejak abad 16, 17, 18, dan puncaknya di abad ke 19.

Tarekat Syattariyah dan Pengaruhnya di Kesultanan Buton
Tarekat Syattariyah, yang didirikan oleh Syekh Abdullah As Syattar, adalah salah satu tarekat sufi yang mengupas antara lain tentang cara tercepat mencapai Makrifat dengan menformulasi apa yang beliau sebut Masyrab Syathoriyah. Masyrob ini terdiri dari beberapa praktek dzikir, dan kontemplasi yang harus berdasar baiat dan petunjuk Guru Mursyid. Ajaran ini mendapatkan tempat yang signifikan dan khusus di Kesultanan Buton pada awal abad ke-17, ketika Syarif Muhammad manjadi Mufti Sultan Buton yang ke 4, Sultan La Elangi (Dayanu Ikhsanuddin).

“Adapun sanad keilmuwan Tarekat Syattariyah Sultan La Elangi berguru ke Syarif Muhammad. Kemudian Syarif Muhammad berguru ke Syekh Syamsudin Al Sumatrani. Lalu Syamsudin Al Sumatrani berguru ke Syekh Fadullah Al Burhanpury (Wafat 1620). Dari Syekh Fadullah Al Burhanpurylah yang menyempurnakan ajaran Ibnu Arrabi, Abdul Karim Al Jili dalam Kitabnya yakni Al-Tuhfah al-Mursalah ila Ruh al-Nabi (Hadiah yang Dipersembahkan untuk Ruh Nabi). Siapa guru Syekh Fadullah Al Burhanpury? Yang saya temukan adalah Sayidina Wajihudin yang juga bersanad guru sampai ke Syekh Abdullah As Syattar” pungkas Narasumber, Ir. LM Insan Al Arif Rihani.

Lebih lanjut Badal Tarekat Syattariyah Wilayah Buton itu memaparkan “jejak spirit budaya di Buton merupakan racikan dari Tarekat Syattariyah adalah Ratibu itu sendiri. Kalau di Jawa dikenal dengan istilah Tahlil kalau di Aceh disebut Ratib. Ritual mendoakan arwah manusia yang telah meninggal dari 3, 7 sampai 100 hari yang dilaksanakan di Buton juga dilakukan di Aceh. Yang demikian, adalah formulasi dari tarekat Syattariyah dan tarekat Samadiah. Dan masih banyak lagi jejak jejak Syattariyah di Kesultanan Buton. Barangkali disesi selanjutnya kita akan mengupas lebih dalam dan tajam”.

Wahdatul Wujud dan Pengaruhnya di Kesultanan Buton
Konsep Wahdatul Wujud, atau “Kesatuan Wujud,” menjadi salah satu pemahaman penting dalam tarekat ini yang menjelaskan bahwa Tuhan adalah sumber dari segala sesuatu dan segala wujud berasal dari-Nya. Dalam pandangan ini, setiap makhluk adalah manifestasi dari Tuhan yang Maha Esa.
Di Kesultanan Buton, ajaran ini diajarkan hanya dikalangan elit bangsawan yang mengajarkan bahwa Tuhan ada di segala hal dan makhluk hidup. Untuk aspek material dan spiritualnya, dapat dilihat sebagai refleksi dari kehadiran Tuhan yang menyatu dalam setiap bentuk wujud. Ajaran ini menekankan bahwa segala perbedaan antar manusia hanyalah lapisan-lapisan wujud yang harus dilalui untuk mencapai kesadaran spiritual yang lebih tinggi.
Seperti yang dipaparkan oleh Narasumber La Ode Yusri, M.A “Jika kita banyak membaca manuskrip manuskrip ajaran-ajaran Fansuri yang mewujud dalam Wahdatul Wujud telah juga mencapai Buton dalam rupa Syattariyah, menjadi semacam tarekat pegangan kaum elite aristokrat di Buton.
La Jampi adalah kakek La Kabumbu sultan sufi paling tersohor Muhammad Idrus Kaimuddin atau Mokobaadiana, Oputa Yi Quba.
Banyak karya Mokobaadiana yang terkenai pengaruh Fansuri yang ia pelajari di bawah asuhan kakeknya La Jampi, Syair Perahu Hamzah Fansuri telah menjelma Bula Malino di Buton, muncul dalam rupa banyak kabanti karya ulama-ulama Buton lainnya seperti La Dongkulo-Kenepulu Bula Syekh Abdul Ganniyu Kanturuna Mohelana dan Ajonga Inda Malusa, Wa Ode Samarati Fuaadi Bhaluna Wasilomata dalam Kanturuna Molingkana, La Kobu Yarona Labuandiri dalam Kaluku Panda Atuwu Incana Dempa dan banyak lagi lain-lain nya.
Kitab makrifat lainnya berjudul nyentrik “Lendu Alamu te Samukati” karya Lakina Bhola, dua kitab saling berkait “Kambotu” dan “Katandaina Mate” adalah sangat jelas isinya mengait ke tarekat Wujudiah ajaran sufi ibn Arabi yang dibawa Fansuri ke Nusantara.
Kitab “Lendu Alamu te Samukati” menyebabkan ulama Lakina Bhola tersisih di keraton Wolio dan membuatnya menepi untuk menyepi di pesisir kampung Bhola, Batauga.
Kitab Lendu Alamu te Samukati karyanya itu dianggap telah dengan terang “menelanjangi” rahasia-rahasia Tuhan, disebut telah membuka tabir rahasia yang membatas, menjadi labirin yang menyekat perhubungan Tuhan dengan hamba-Nya.
Sehingga kalau batasan pelabir itu telah dapat ditembus dan lalu dilalui, maka barulah tercapai apa yang dinamai Poromu Yindaa Saangu Pogaa Yinda Ko Olota atau dalam Jawa, Hamba dan Tuhan telah manunggal tiada lagi sekat mengantarai.
Menyatulah hamba yang dicipta dengan pencipta-NYA, Fanaa dalam DIA dan lalu Baqabillah, menetap tinggal bersama-NYA, selama-lamanya.”

Martabat 7 dan Pengaruhnya di Kesultanan Buton
Salah satu ajaran esoterik yang tak terpisahkan dari Tarekat Syattariyah adalah konsep Martabat 7, atau tujuh tingkatan spiritual yang harus dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan spiritual) untuk mencapai kesatuan dengan Tuhan. Setiap martabat menggambarkan sebuah fase yang harus dilalui oleh seorang salik dalam proses pemurnian diri dan pencapaian pengetahuan batin.
Lebih lanjut dijelaskan Dr. Falah Sabirin
“ 1. Murtabat Ahdat, alam Zat Allah (La Ta’yuni) artinya tiada yang nyata akan kenyataannya karena akal belum menunjukan Zat Allah.

  1. Murtabat Wahadat, Sifat Allah (Ta’yuni Awwal) artinya kenyataan yang pertama. Karena kenyataan yang pertama itulah permulaan akal mengetahui Zat Allah. Jelasnya Sifat Allah yang menunjukan adanya Zat Allah baik itu sifat Salbiyah maupun sifat Wujud.
  2. Murtabat Waahidiyyat, Asma Allah (Ta’yunis Saani) artinya kenyataan yang kedua. Karena dengan kenyatan kedua ini akal dapat menyelami dan mengtahui Zat Allah dan oleh karena Asma itulah yang menunjukan Zat Allah yang layak bersifat dalam Zat-Nya.
  3. Murtabat Alam Arwah, itulah pokok permulaannya keadaan sekalian ruh, baik ruh manusia ataupun makhluk lainnya.
  4. Murtabat Alam Misali, itulah perumpamaan dari segala keadaan tetapi bukan dimaksudkan bahwa segala keadaan keadaan selain dari keadaan Tuhan itu demikian Tamsilnya karena mustahil sekali Tuhan mengadakan sesuatu dengan menjadikan misal. Misali itu bermacam macam, ada jin tetapi bukan jin, ada batu tetapi bukan batu, ada manusia tetapi bukan manusia, ada malaikat tetapi bukan malaikat.
  5. Murtabat Alam Ajzam, itulah keadaan segala yang lahir : seperti tanah, awan, batu kayu, air dan sebagainya.
  6. Murtabat Alam Insaanu, itulah yang disebut manusia dan martabat ini disebut martabat yang mengumpulkan keadaan sifat Allah, kebesaran dan kemuliaan”.
    Lebih awal narasumber yang akrab dipanggil Ustad Falah ini menekankan bahwa
    “Bagi umat muslim dalam beragama dibagi menjadi Islam, Iman & Ihsan. Trilogi ini tidaklah disilang pendapat atau dipertentangkan karena yang ketiganya telah memiliki ruang ruang sendiri.
    Jika kita ber Islam mengikuti 4 Mahzab dan khususnya di Nusantara adalam Mahzab Imam Syafi’i.
    Lalu, bagaimana dengan ber Ihsan?
    Jika bersyariat itu dengan 4 Mahzab.
    Lalu, bagaimana dengan ber tarekat?
    Olehnya itu, bertarekat itu hukumnya wajib sebagaimana leluhur kita dahulu, mereka adalah orang orang yang bertarekat, bertasawuf apalagi dizaman seperti saat ini, peran tarekat sangat amat dibutuhkan”.

Di kesultanan Buton, Undang Undang Martabat 7 tidak hanya dipahami secara teori, namun diresmikan dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari oleh Masyarakat Buton sejak tahun 1610. Undang Undang ini tidak hanya mengupas persoalan ilahiyah melainkan insaniyah dan ini adalah salah satu bukti yang mencengangkan para peneliti dan pelaku tarekat sebut saja Dr. Arrazy Hasyim, M.A. Beliau yang disapa Buya Arrazy juga memiliki sanad Tarekat Syattariyah dan mengatakan bahwa di Kesultanan Buton, Martabat 7 nya paling maju karena resmi dijadikan Falsafah Daulah, Falsafah Kesultanan dan ini paling mengagetkan.

Dahulu ajaran tersebut menjadi Undang Undang Dasar yang berfungsi sebagai Dasar Filosofis Pemerintahan, Hukum dan Adat, dan Spiritualitas Masyarakat.
Lalu, bagaimana dengan kondisi saat ini?

(***)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *