- Gangguan kesehatan jiwa bukanlah isu pinggiran.
Oleh: Josephine W.P Jawak
Menurut laporan WHO, 450 juta orang di dunia hidup dengan gangguan mental, termasuk 20% di antaranya adalah anak-anak. Indonesia menyumbang angka yang tidak kecil prevalensi gangguan mental pada 2021 mencapai 9,8%, dengan 6,6% mengalami depresi.
Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kita masih jauh dari kata “siap” dalam merawat kesehatan mental sebagai bagian tak terpisahkan dari kesehatan menyeluruh.
Ketika WHO berkata, “There is no health without mental health,” itu bukan slogan semata.
Pernyataan tersebut merupakan peringatan dan sekaligus undangan agar kita mengubah cara pandang. Sudah saatnya kita berhenti menganggap stres sebagai bagian wajar dari “kehidupan modern”, atau menyamaratakan semua gangguan emosi sebagai kurang iman, lemah hati, atau “drama pribadi”.
Kesehatan mental adalah dimensi serius yang membutuhkan perhatian kolektif baik secara pribadi maupun sistemik.
Peran Individu: Delapan Langkah Sederhana yang Bermakna Josephine W.P Jawak, dalam artikelnya, mengajak kita untuk mengambil kendali atas kesehatan jiwa melalui delapan langkah preventif yang bisa dilakukan siapa saja.
Dari mengenali diri sendiri, mengambil waktu untuk beristirahat, menjaga pola hidup sehat, hingga mencari bantuan profesional—semuanya adalah langkah yang valid dan realistis.
Salah satu poin penting adalah tentang mengambil waktu untuk diri sendiri. Banyak orang, terutama perempuan yang memikul peran ganda sebagai ibu, istri, dan pekerja, merasa bersalah saat memilih waktu untuk memanjakan diri.
Padahal, merawat diri bukan egoisme, tapi bentuk tanggung jawab. Seseorang yang burnout tidak akan bisa berfungsi optimal untuk dirinya maupun orang-orang terdekat.
Langkah lainnya seperti menghindari kecanduan layar digital dan mengurangi konsumsi alkohol menyoroti gaya hidup modern yang sering kali justru memperburuk kondisi emosional.
Kita hidup di tengah banjir informasi, namun mengalami kekeringan makna. Maka, berhenti sejenak, hadir sepenuhnya dalam momen yang sederhana, dan melatih rasa syukur adalah bentuk perlawanan kecil terhadap tekanan dunia luar.
Peran Sosial dan Sistemik:
Kapan Negara Akan Benar-benar Peduli?Meski langkah-langkah pribadi penting, namun tidak semua masalah mental bisa diselesaikan dengan usaha sendiri.
Kita tidak bisa meminta seseorang yang sedang dalam kondisi depresi akut untuk “lebih bersyukur” atau “olahraga saja biar segar”. Dibutuhkan kehadiran sistem yang mendukung: layanan kesehatan mental yang terjangkau, mudah diakses, dan tidak menstigmatisasi.
Sayangnya, hingga hari ini, alokasi anggaran dan prioritas negara terhadap kesehatan jiwa masih sangat minim. Ketersediaan psikolog klinis dan psikiater di Indonesia tidak sebanding dengan kebutuhan masyarakat.
Belum lagi stigma sosial yang masih kuat: menyebut kata “psikiater” saja seolah menjadi aib, bukan ikhtiar penyembuhan.
Dibutuhkan pendekatan lintas sektor pendidikan, hukum, pekerjaan, bahkan keagamaan untuk membentuk masyarakat yang sadar akan pentingnya kesehatan mental. Kampanye kesadaran harus terus digalakkan, dari ruang kelas hingga ruang rapat pemerintahan.
Dukungan sosial harus dibentuk bukan hanya dalam bentuk komunitas daring, tapi juga melalui regulasi dan kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan jiwa masyarakat.
Mulai dari Diri, Bergerak Bersama, Menjaga kesehatan mental bukan tentang menjadi bahagia setiap saat, tetapi tentang bagaimana kita bisa mengelola tekanan, mengenali batas diri, dan tahu kapan harus meminta bantuan.
Kita tidak bisa menunggu negara sepenuhnya siap, namun kita juga tidak bisa terus menganggap ini hanya tanggung jawab individu.Kesehatan mental adalah urusan semua orang.
Mulailah dengan langkah kecil, namun mari bersuara lebih keras agar dunia tidak lagi membungkam luka-luka yang tak terlihat.Karena jiwa yang sehat bukan hanya kebutuhan pribadi, tapi fondasi bagi masyarakat yang beradab. (***)














