Wagub Mestinya Dorong Pembentukan BUMD Bukan Pecahkan Piring Makan Rakyatnya Sendiri
Oleh: Fadel Rumakat Pegiat Sosial
SPIONNEWS.ID, MALUKU – Pasar Mardika di Ambon bukan sekadar pusat transaksi ekonomi, tetapi urat nadi kehidupan ribuan warga yang menggantungkan nafkah dari aktivitas harian di sana—dari pedagang kaki lima, buruh angkut, hingga pengelola lahan parkir. Ketika muncul kabar bahwa Wakil Gubernur Maluku mengambil langkah sepihak dengan memutus kontrak kerja sama lahan parkir tanpa prosedur yang transparan, publik wajar bertanya: siapa yang sebenarnya diwakili oleh seorang wakil gubernur?
Kebijakan pengelolaan lahan publik, apalagi yang berdampak langsung pada ekonomi rakyat kecil, mestinya dilakukan secara partisipatif dan bertumpu pada prinsip keadilan sosial. Langkah mencabut kerja sama dengan pihak pengelola lahan parkir di Pasar Mardika, konon dengan dalih “penertiban” dan “penataan”, terasa lebih sebagai bentuk penyingkiran daripada pembenahan. Terlebih lagi, belum terlihat adanya pengganti yang lebih baik atau sistem yang lebih transparan. Maka jangan heran jika publik menyebut: ini bukan sekadar persoalan parkir, tapi soal “pecahnya piring makan rakyat.”
Dua Persoalan Pokok: Akses Ekonomi dan Kedaulatan Tata Kelola
Pertama, kita bicara soal akses ekonomi rakyat. Bukan rahasia umum bahwa sektor informal dan semi-formal seperti jasa parkir memberi penghidupan bagi banyak warga kota yang tidak terakomodasi dalam sektor formal. Ketika kontrak dihentikan, siapa yang akan menggantikan mereka? Apakah ada jaminan bahwa sistem baru yang hendak dibangun akan melibatkan mereka atau justru meminggirkan mereka?
Kedua, ini soal arah kedaulatan tata kelola daerah. Daripada menunjuk kontraktor baru secara tertutup atau membuka celah baru untuk pihak-pihak swasta yang berafiliasi dengan elite, mestinya Pemprov Maluku—dalam hal ini Wakil Gubernur—mendorong pembentukan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) yang profesional dan akuntabel untuk mengelola parkir dan kawasan strategis seperti Pasar Mardika. Di sinilah letak keberpihakan yang sejati: membangun lembaga milik rakyat yang dikelola untuk rakyat, bukan sekadar mengganti satu tangan ke tangan lain yang mungkin sama oligarkisnya.
BUMD: Solusi Struktural, Bukan Tambal Sulam
Maluku sangat tertinggal dalam hal BUMD yang produktif. Di saat provinsi lain telah menjadikan BUMD sebagai alat ekspansi ekonomi daerah dan pemberdayaan masyarakat lokal, Maluku masih terjebak pada model pengelolaan konvensional yang rawan manipulasi. Bila Wagub serius ingin memperbaiki tata kelola lahan publik, dorongan untuk membentuk atau memperkuat BUMD Parkir Daerah adalah langkah strategis.
Dengan skema BUMD, pemerintah bisa mengatur sistem yang lebih akuntabel: pendapatan masuk ke kas daerah, sistem kerja berbasis kontrak yang terbuka, rekrutmen tenaga kerja lokal, hingga insentif untuk program sosial dari pendapatan parkir. Ini bukan utopia. Di beberapa kota lain, seperti Surabaya dan Makassar, model semacam ini telah terbukti lebih transparan dan berpihak.
Mengukur Kepemimpinan dari Respons pada Krisis Mikro
Isu lahan parkir mungkin terlihat kecil dibanding proyek infrastruktur besar atau program nasional. Namun justru di sinilah ukuran kepemimpinan itu nyata: apakah seorang pemimpin hanya berpikir tentang proyek dan narasi besar, atau juga sensitif terhadap piring makan rakyatnya yang paling bawah? Apakah seorang pemimpin hadir sebagai solusi struktural, atau hanya jadi operator dari konflik kepentingan tersembunyi?
Langkah sepihak dengan alasan “penertiban” justru menimbulkan kecurigaan akan motif lain di balik keputusan itu. Di tengah kesulitan ekonomi, kebijakan seperti ini hanya menambah luka sosial dan mempertegas jarak antara pemerintah dan rakyat. Maka, pesan publik pun menguat: jangan pecahkan piring makan rakyat hanya untuk memberi ruang makan bagi mereka yang sudah kenyang.
Tuntutan Keadilan dan Arah Reformasi
Sudah saatnya Pemprov Maluku—termasuk Wakil Gubernur—berpikir jauh ke depan: membangun sistem ekonomi rakyat berbasis kedaulatan daerah, bukan membiarkan setiap celah ruang publik menjadi arena perebutan kepentingan jangka pendek. Reformasi birokrasi dan transparansi pengelolaan aset publik harus dimulai dari hal-hal konkret dan menyentuh langsung kehidupan warga.
Pembentukan BUMD parkir yang profesional bukan hanya akan menjadi solusi atas kisruh lahan parkir di Pasar Mardika, tetapi juga menjadi preseden bahwa Maluku bisa keluar dari ketergantungan pada segelintir kontraktor atau pihak ketiga yang tak terjangkau kontrol publik.
Penutup: Jangan Ulangi Sejarah Pemiskinan Struktural
Pasar Mardika adalah simbol denyut hidup rakyat kecil. Ketika lahan parkir menjadi isu, jangan dilihat sebagai soal teknis semata. Di balik itu ada struktur sosial, ada relasi ekonomi, ada urat nadi penghidupan. Wakil Gubernur harus ingat, kekuasaan adalah mandat yang lahir dari harapan rakyat, bukan alat untuk mengatur-atur hidup rakyat seenaknya.
Jangan sampai sejarah pemiskinan struktural yang dulu terjadi karena salah urus aset dan tanah rakyat kembali berulang—kali ini dalam bentuk ‘penataan parkir’. Kita tak butuh penataan yang menyakitkan. Yang kita butuh adalah keberpihakan yang nyata, sistem yang adil, dan kebijakan yang memberi ruang hidup, bukan justru mencabutnya.(**)
Editor : Erwin Banea