“Dari Tidak Mengerti Menjadi Berarti: Kisah Fadel Muhamad dari Pulau Buton.”
SPIONNEWS.ID, BAUBAU, SULTRA – Di sudut tenggara Nusantara, tersembunyi sebuah kisah yang mungkin tak akan ditemukan di halaman depan surat kabar nasional. Tapi di antara riak ombak Laut Banda dan teduhnya perbukitan Pulau Buton, seorang anak lahir pada 7 April 2000—bukan di rumah sakit dengan fasilitas lengkap, melainkan di rumah sederhana berdinding bata, lantai yang dikotori oleh bercak dan atap seng yang kadang bocor saat hujan.
Namanya Fadel Muhamad. Anak kedua dari sembilan bersaudara, lahir dan besar di Kelurahan Tomba Kecamatan Wolio, salah satu wilayah pesisir di Kota Baubau Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra). Bagi sebagian orang, Tomba hanyalah satu titik di peta. Tapi bagi Fadel, itulah titik awal semua mimpi dimulai.
“Kami hidup serba pas-pasan. Tapi saya tumbuh di tengah cinta dan doa orang tua. Itu kekuatan saya,” ujar Fadel ketika ditemui di kampusnya, Universitas Dayanu Ikhsanuddin, belum lama ini.
Masa Kecil: Belajar dari Kekacauan
Di masa kecil, Fadel bukanlah anak yang menonjol. Justru sebaliknya—ia dikenal bandel, keras kepala, bahkan sempat menjadi anak yang membuat guru dan orang tuanya geleng-geleng kepala. Ia kerap berbohong, melawan nasihat, dan merasa dunia tak pernah adil padanya.
“Saya pernah mengambil uang orang tua untuk beli permen. Pernah juga bolos sekolah cuma karena ingin main layang-layang. Tapi setiap malam, saya melihat ibu menangis dalam doa. Itu menampar saya pelan-pelan,” kenangnya.
Namun Tuhan punya cara menyentuh hati manusia. Titik balik pertama hadir di bangku sekolah dasar. Di SD Negeri 4 Baubau, Fadel menemukan keberanian lewat hal yang sederhana: melukis.
Warna yang Menyembuhkan
Suatu hari, ia diajak gurunya mengikuti lomba melukis tingkat kota, yang diselenggarakan oleh Saka Wira Kartika di Markas Kodim Buton. Ia datang dengan tangan gemetar, tanpa percaya diri. Tapi ia duduk, mengambil kuas, dan mulai melukis bukan dengan teknik tinggi—tapi dengan hati.
“Saya nggak tahu apakah lukisan saya bagus atau tidak. Tapi saya melukis kenangan—menggambar tentara menjaga perbatasan melalui benteng serta memegang senapan,” katanya.
Hasilnya? Juara tiga. Bagi anak kampung yang selama ini merasa tidak cukup baik untuk apa pun, itu adalah piala kehidupan pertama.
Luka di SMP, Harapan di Madrasah Aliah.
Lulus SD, Fadel melanjutkan ke SMPN 17 Baubau. Di sinilah tantangan justru makin besar. Lingkungan sekolah yang keras, pergaulan yang penuh tekanan, dan sistem belajar yang kaku membuatnya terpuruk.
“Saya pernah dipukul teman sekolah hanya karena menolak diajak merokok. Saya merasa seperti tak punya tempat,” ujarnya.
Namun Fadel bertahan. Ia memilih diam daripada membalas. Ia menyimpan semua luka itu sebagai pelajaran. Ketika masuk ke Madrasah Aliyah, ia menemukan suasana yang berbeda: religius, tenang, penuh nilai.
“Awalnya saya nggak ngerti kenapa harus belajar kitab, shalat tepat waktu, atau menghafal doa. Tapi lambat laun, saya menyadari bahwa inilah pegangan hidup yang selama ini saya cari,” tuturnya.
Ia mulai memperbaiki diri. Rajin belajar, aktif di kelas, dan akhirnya meraih peringkat tiga. Tapi bagi Fadel, peringkat itu bukan tujuan utama. “Yang penting, saya mulai mengerti diri saya sendiri. Dan itu yang membuat saya merasa berarti,” ucapnya.
Kampus: Kode, Kepemimpinan, dan Perjuangan
Setelah lulus, ia memutuskan untuk kuliah di Universitas Dayanu Ikhsanuddin, mengambil jurusan Teknik Informatika. Dunia coding dan teknologi membuatnya tertarik, tapi di balik layar komputer, ada panggilan lain: organisasi.
Ia bergabung dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), salah satu organisasi tertua dan terbesar di Indonesia. Di sanalah ia menemukan dunia baru: pelatihan kader, forum dialektika, dan perjuangan ideologis.
“Saya bukan siapa-siapa waktu masuk HMI. Tapi saya dilatih untuk berpikir, bicara, dan bergerak,” ujarnya.
Dari Basic Training (LK 1) hingga Intermediate Training (LK 2) di Kendari, Fadel tumbuh jadi kader tangguh. Ia belajar menyusun strategi, memahami dinamika sosial, dan memimpin dengan hati. Di tengah itu semua, ia juga aktif di HMJ Teknik Informatika.
Kepemimpinan: Dari Komisariat ke Cabang
Kemampuannya dalam memimpin membuat ia dipercaya menjadi Ketua Umum Komisariat Teknik Unidayan. Di masa kepemimpinannya, ia membuat sistem kaderisasi lebih tertata, mengadakan dua kali pengkaderan dalam satu periode, dan membangun komunikasi yang erat dengan kader-kader muda.
“Buat saya, pemimpin itu bukan soal perintah. Tapi soal siapa yang pertama datang saat semua orang menjauh,” katanya.
Setelah itu, ia terpilih menjadi Ketua Bidang Partisipasi Pembangunan Daerah (Kabid P2D) di HMI Cabang. Dari posisi ini, ia makin dekat dengan masyarakat. Ia turun ke desa-desa, berdiskusi dengan warga, dan mengadvokasi kebutuhan mereka.
“Kami pernah bantu masyarakat dalam menyusun proposal pembangunan jalan desa. Kami bukan pejabat. Tapi kami percaya, suara anak muda juga bisa berarti,” tegasnya.
Visi, Nilai, dan Harapan
Kini, di usianya yang baru menginjak seperempat abad, Fadel Muhamad sudah melampaui banyak hal yang tak semua orang muda lewati. Tapi ia tidak ingin cepat puas. Ia masih ingin belajar, membangun, dan memberi makna lebih luas.
“Saya ingin jadi pemuda yang tidak hanya pintar secara akademik, tapi juga peka terhadap lingkungan sosial. Saya ingin jadi jembatan bagi banyak orang yang merasa tak punya tempat,” katanya lirih.
Pesan hidupnya sederhana:
“Yakinkan dengan iman. Usahakan dengan ilmu. Sampaikan dengan amal. Jika kamu belum bisa menjadi cahaya, maka jadilah sebab orang lain bisa melihat cahaya.”
Di tengah zaman yang penuh kegaduhan dan egoisme, kisah Fadel adalah vase yang menyejukkan. Ia bukan lahir dari keluarga elit, bukan pula anak ajaib yang langsung bersinar. Tapi dari lorong sempit dan lantai kasar rumahnya, ia membuktikan bahwa siapa pun bisa tumbuh menjadi terang—asal tak menyerah untuk belajar, berubah, dan berbagi.(*)